Selasa, 06 Oktober 2009

Ekonomi Syariah

Bank Syariah Menuju Branding Sosial
Oleh arifandigadjong - 4 September 2009 - Dibaca 246 Kali -

Arif Andi GadjongMasih jelas diingatanku, orang tua saya dulu, kalau simpan uang, selalu di bawah kasur ataukah di dalam sarung bantal. Ketika mau bepergian, uang dibawa secukupnya dan disimpan dalam saku celana Simpa-celana dalam yang modelnya celana pendek, terbuat dari kain tipis dan dilengkapi kantong ukuran lebar. Waktu itu, karena masih belia, saya tidak pernah bertanya, mengapa demikian?

Tahun 1990, saya semester empat, fakultas ekonomi, jurusan manajemen, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Waktu itu, rektornya masih Almarhum DR. Abdurrahman A. Basalamah. Setiap hari, kamis, jam 09.30 wita, saya ikuti mata kuliah Ekonomi Pembangunan dan sebagai penanggung jawab mata kuliah bapak Drs. Muchlis Sufri, sekarang ini sudah bergelar doktor. Dalam kuliah minggu keempat, pak Muchlis bawakan kuliah, khusus tentang Sistem-sistem Ekonomi. Pada waktu inilah terjadi perdebatan antara pak Muchlis dengan mahasiswa, termasuk saya. Inti masalah adalah pembahasan Sistem Ekonomi Islam (SEI)-karena memang di UMI selalu ada mata kuliah berbau Islam. Saya tidak sependapat dengan adanya SEI, karena saya anggap tidak punya mainstream pemikiran, malah saya menganggap hanya penjiplakan dari system ekonomi yang sudah, dan Islam tinggal masukkan ayat-ayat Alquran sebagai back up untuk pembenaran argument. Kebetulan waktu itu, hampir semua mahasiswa dalam kelas sepakat dengan saya. Termasuk waktu itu digambarkan sama pak Muchlis, system perbankan dalam pandangan Islam. Benturan antara mahasiswa dengan pak Muchlis, dalam masalah perbankan Islam, lebih mengarah pada masalah syndrome masyarakat tentang riba. Akhirnya, disepakati bahwa Riba dalam Islam kalau, umpama kredit untuk konsumtif, tetapi tujuan produktif boleh. Pendapat ini, sampai sekarang tetap saya yakini.

Pada saat saya kuliah, rutin setiap bulan mendapatkan jatah dari orang tua di kampung, di mana setiap tanggal lima bulan berjalan, selalu dapat surat dari orang tua untuk cek rekening di BNI Makassar. Saya pun kemudian sadar dan berani bertanya, bahwa orang tua saya, sekarang ini sudah mengenal bank, bukan lagi seperti dulu, simpannya di bawah kasur atau bantal. Orang tua memang tergolong penganut agama Islam Fanatik, menurut penuturannya, mereka dulu tidak menyimpan di Bank, karena menurut faham mereka bunga bank itu riba. Perkembangannya kemudian, dikampung ramai terjadi pencurian dan perampokan, khususnya ketika para petani dan nelayan selesai menjual hasil panennya. Kondisi ini kemudian dicermati ulama, sehingga membolehkan simpan uang di bank, dan sebagai toleransi bunga tidak diambil, di samping itu juga ada keberhasilan promosi dari perbankan konvensional untuk menarik dana masyarakat. Pada asumsi masyarakat bawah ada pertarungan antara keimanan dan keamanan. Jadi, syndrome riba bagi perbankan di mata masyakat, sampai sekarang ini sudah bukan lagi masalah krusial.

Secara umum perbankan itu ada untuk sebuah tujuan mulia, yaitu wahana pengaturan lalu lintas moneter, mengumpulkan dan mengamankan dana masyarakat, dan membantu permodalan bagi dunia usaha. Begitupun dengan eksistensi bank syariah, tentu juga punya tujuan yang sama, sedangkan yang membedakan adalah trademark-nya yaitu Islam lewat nama syariah. Eksis tidaknya sebuah lembaga perbankan, apakah itu konvensional atau syariah, sangat ditentukan oleh sanggup tidaknya memiliki segmen pasar yang jelas dan konsisten. Pertanyaan sederhana, adakah masyarakat mau menabung atau adakah dunia usaha yang memamfaatkan fasilitas kredit bank tersebut? Semua tergantung kesanggupan dari pengelola bank menciptakan brandimage yang populis.

Dalam perjalanan bank syariah, brandimage yang populis dalam fasilitas kreditnya, yaitu bagi hasil. Ini pun masih perlu di ukur tingkat kredibilitas masyarakat terhadap system bagi hasil ini, karena untuk real bisnis jangka pendek, agak mudah untuk monitoring pemamfaatan fasilitas kredit yang diberikan ke nasabah, karena tinggal berhitung return di belakang, pada bulan selanjutnya. Sekarang bagaimana dengan bisnis besar yang sifatnya investasi jangka panjang, di mana mungkin empat-lima tahun baru masuk fase komersial. Untuk bisa monitoring pemamfaatan dana, harus ada semacam joit operation-atau semacamnya, antara pihak bank syariah dengan badan usaha dimaksud, pola ini harus ada karena sifatnya bagi hasil. Pertanyaannya adalah apakah dunia usaha tersebut, bersedia dimasuki dapur usahanya, di mana di dalamnya mungkin ada unsur usaha yang sifatnya strategis dan sangat tertutup bagi pihak luar. Lain halnya dengan perbankan konvensional, yang penting badan usaha tersebut bayar bunga plus cicilan pokok, masalah dianggap selesai. Saya pikir masyarakat pelaku ekonomi kita perlu mendapatkan penjelasan secara detail dan lengkap tentang system bagi hasil ini. Kalaupun model join operation ini bisa berlaku, sejauh mana bank syariah sudah mengakomodir SDM handal untuk disandingkan dengan dunia usaha skala besar.

Pada sisi lain, dalam dunia perbankan kita telah terjadi euphoria syariah. Kita lihat saja, bank konvensional ramai-ramai memamfaatkannya, di mana dari dimensi strategi usaha sah-sah saja. Lahirnya BRI Syariah, Bukopin Syarian, BNI Syariah, malah mungkin nggak lama lagi muncul Panin-life Syariah. Sewaktu menulis artikel ini, saya berpikir bisakah bank syariah eksis di dunia perbankan, tanpa perlu membonceng ataukah dibonceng bank konvensional? Jelas, opsi ini membutuhkan keberanian dan kesiapan dari bank syariah sendiri, untuk menciptakan brandimage social, bahwa bank syariah adalah tersendiri, bukan ada karena adanya bank konvensional.

Tags: , , , , , , , , ,

Beberapa Pemikiran Politik

SBY Terjepit Diantara Dua Tanduk
Oleh arifandigadjong - 24 September 2009 - Dibaca 609 Kali -

Pertarungan antara Kapolri dan KPK kian memanas dan masing-masing kubu telah memakan korban. Korban terkini adalah pencopotan dua anggota KPK, oleh SBY melalui PERPPU sebelum memulai lawatannya keluar negeri. Menurut berbagai kalangan, untuk sementara babakan ini dimenangkan oleh Kapolri. Jadi, Kapolri memang lagi naik daun, apalagi setelah diumumkan kepastian tewasnya gembong utama teroris Noordin M. Top.

Pertanyaan sekarang, apakah pertarungan ini telah selesai dan dimenangkan oleh Kapolri? Dan apakah ini berarti kekalahan ada di pihak KPK, di mana bisa berujung pada pembubaran lembaga tinggi Negara itu? Menurut saya tidak sesederhana itu.

KPK merupakan wujud keseriusan pemerintahan SBY untuk membrantas salah satu penyakit yang akut di negeri ini, yaitu Korupsi, baik pada periode pertama maupun periode kedua nantinya. Jadi saya yakini bahwa SBY tidak mungkin mengundang persepsi masyarakat, khususnya tentang perhatian yang tidak serius dalam pemberantasan korupsi dengan mengobok-obok KPK sampai demikian parah. Malah, pada satu sisi, pencopotan dua anggota KPK merupakan awal kebangkitan kembali dan salah satu bukti juga tentang keseriusan SBY memberantas korupsi, di mana dimulai dengan pembersihan internal.

Kalau PERPPU pencopotan anggota KPK ini mendapat respon public yang baik, sehingga memuluskan jalannya pemilihan anggota KPK baru dan berhasil menetapkan pimpinan KPK yang baru, barulah babakan perang selanjutnya ditabuh lagi. Mengapa babakan baru?

Di Indonesia ini ada syndrome politik yang sangat cenderung berlaku, yaitu semacam politik balas dendam dan populis. Ketika anggota KPK ini lengkap dan sudah punya pimpinan baru, maka dimulailah pemburuan mangsa, apakah mangsa baru ataukah mangsa lama yang dianggap belum selesai prosesnya.

KPK untuk populis dan mendapat pengakuan kembali sebagai lembaga Negara yang kualitasnya mumpuni untuk memberantas korupsi di negeri ini, maka tidak akan pandang bulu memburu target. Apakah kita yakin bahwa lembaga Kapolri itu bersih banget dari perilaku korupsi? Kalau jawaban kita tidak, maka pencarian mangsa bisa saja dimulai dari situ. Supaya KPK bisa populis, maka targetnya juga pasti bukan orang sembarangan di lembaga Kaporli. Malah untuk target populis, tidak menutup kemungkinan Istana Negara juga bisa di obok-oboknya.

Ketika KPK berhasil menembus korupsi yang dilakukan lembaga Kapolri, maka ini akan buat gerah juga SBY. Maka, demi populis, SBY akan mencopot lagi oknum yang terlibat. Demikianlah seterusnya yang akan terjadi, saling potong, saling jegal, rekayasa saling menghabisi antara satu dengan lainnya. Ini problematic utama sebuah Negara yang dominan di mana penyelesaian masalahnya lewat pendekatan politik. Kondisi ini, sedikit banyaknya pasti mengganggu kinerja pemerintahan yang diburu oleh target sukses pada KIB kedua. SBY betul-betul berada diantara dua tanduk. Untuk itu, bersiaplah menyambut babakan pertarungan yang lebih dasyat.

Perspektif Agama

Bisakah Saya Lupa Ya Allah…?
Oleh arifandigadjong - 3 September 2009 - Dibaca 568 Kali -

Tak terasa, sekarang ini kedatanganku ke Kota Tarakan-Kalimantan Timur sudah memasuki hari ke 54. Jadi, sudah hampir dua bulan, saya meninggalkan istri dan dua anak yang masih belia, berumur lima dan enam tahun. Masih sangat jelas diingatanku, senin, tanggal 12/7/2009, sekitar pukul 13.00 wita dengan ditemani istri dan anak-anak, saya menuju ke salah satu kantor Tour/Travel di jalan Bawakaraeng, Makassar. Pesawat udara yang punya rute ke Kota Tarakan, dari Makassar, ternyata hanya Sriwijaya Air, itu pun harus transit Palu dan Balikpapan. Sebenarnya dengan alasan cuaca sangat panas, saya berniat pergi beli ticket sendiri, tetapi sewaktu pamit berangkat, anak-anakku-khususnya yang bungsu, memelas untuk ikut bahkan sampai tangisnya meledak. Waktu itu, bathinku mengguman “apakah ini naluri seorang anak, bahwa ayahnya akan pergi jauh, untuk jangka waktu relative lama, sehingga ini kesempatan untuk bersama”. Sehingga,setelah diskusi singkat dengan istri, diputuskan beli ticket sama-sama. Saya bisa melihat mimik muka anak-anakku begitu gembira mendengar keputusan itu, bahkan si sulung sampai lompat merengkuh pundakku, mencium pipihku. Malam hari, setelah segala kebutuhan dianggap cukup, istri member saran, supaya saya tunaikan shalat Hajjat malam ini, semoga Allah merahmati perjalananku mencari rejeki buat keluarga.

Minggu pertama di Kota Tarakan, kerjaku hanya mendatangi semua kolega untuk membicarakan lebih lanjut, peluang-peluang bisnis yang selama ini selalu dibicarakan cuma hanya via telepon waktu saya masih di Makassar. Kolega-kolega saya ini, lebih banyak memang bisa dikatakan asli Orang Tarakan, cuma dulu waktu masuk Perguruan Tinggi, mereka lebih memilih kuliah di Makassar, selebihnya adalah teman-teman sewaktu masih aktivis mahasiswa dan sekarang ini sudah punya peran tertentu dipemerintahan. Berkat bantuan para kolega ini, beberapa peluang bisnis menarik untuk dikelola, walaupun hampir semua peluang itu tidak ada yang bisa menghasilkan uang yang cepat. Saya pikir, tidak apa-apa, toh keberhasilan memang susah untuk instan, apalagi dengan modal pas-pasan seperti saya. Bermodal semangat bahagiakan keluarga, mulailah saya merintis beberapa peluang, di mana dalam kalkulasi saya relative punya prospek menjanjikan. Dari Kolega juga, saya mendapatkan berbagai info penting tentang Kota Tarakan, baik menyangkut aktivitas keseharian penduduknya yang lebih banyak hidup di dunia Jasa dan pertanian, khususnya usaha Tambak udang dan bandeng, perkembangan pembangunan kota, issu politik lokal, kepentingan Kota Tarakan dalam pembentukan Kalimantan Utara, sampai pada predikat Kota Tarakan sebagai terbesar kedua tingkat inflasi di Indonesia.

Selama di Kota Tarakan, hampir setiap hari saya baca Radar Tarakan-koran lokal dan Tribun Kaltim. Kolega juga sarankan, kalau mau internet murah, lebih baik ke Plaza Tarakan, karena ada Hot-Spot gratis di café, modalnya hanya pesan minuman dan bawa Laptop. Mungkin karena kolega-kolega saya masih ingat, saya orangnya paling tidak bisa ketinggalan informasi. Saya sering bercanda dengan mereka, bahwa enakan di café kita “ngopi” sambil menunggu buka puasa. Dari koran dan internet inilah, saya bisa tetap mencermati perkembangan lokal Tarakan-Makassar, regional Kaltim dengan semangat Gubernur Awang Farouk bangun Freeway senilai 4,3 trilyun, keluhan masyarakat Tarakan terhadap listrik yang dikelola swasta dengan pasokan Kwh tidak mencukupi sehingga sering padam, sampai pada issu nasional yang lebih banyak tentang kemarahan bangsa ini terhadap Malaysia, kabinet pak Beye yang bagusnya dari kalangan professional, termasuk dikte partai pendukung ke pak Beye supaya kadernya masuk Kabinet, sampai pada berita terorisme dengan semangat Polri memburu Noordin M. Top dan situs arrahmah.com. Cakupan isu ini, terus terang membuat saya pusing, sekaligus menyejukkan karena bisa berpikir solusi untuk bangsa ini dan terutama juga ada pengalihan pikiran yang sering sumpek karena masalah yang muncul dalam merintis usaha.

Memasuki bulan puasa, saya sedikit gamang, karena memang ada kebiasaan keluarga untuk sahur bersama di hari pertama dan mungkin budaya ini juga dipelihara oleh mayoritas keluarga lain. Saya masih ingat, malam sebelum pergi tarwih pertama, di hp saya masuk sms, ternyata dari istri “Ayah…selamat puasa ya, sebentar sahur di mana? Arya n Aby juga minta puasa, tapi katanya tetap minum susu. Makan nasi aja gak mau karenakatanya puasa. Sayang Ayah”. Sejujurnya, air mataku hampir tumpah, karena rindu sama keluarga, tapi saya lalu sadar, bahwa diperantauan nggak boleh cengeng. Langkah berat saya pun menuju Mushollah dekat rumah sewa. Lima hari puasa, sms dari istri masuk lagi, “Ass…Ayah, sandal Aby putus. Arya minta sajadah kecil, karena teman2nya juga punya. Saya belikan ya? Sayang Ayah”. Saya jawab, “belikan aja Bu, kasian ana2. Persediaan masih cukup kan? sayang Ibu. Wassalam”

Tanggal 2/09/09, sekitar jam 17.20 wita, sepulang dari Plaza Tarakan buka Internet dan serius baca blog kompasiana, berbagai masalah bangsa yang dimunculkan oleh blogger saya unduh masuk laptop. Ragam tulisan dari blogger kompasiana tetap mengelayut dipikiranku selama di angkot menuju rumah sewa. Tanpa sadar, bathinku mengguman “Ya ALLAH, dengan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini, termasuk masalah yang muncul dalam perintisan usahaku, bisakah saya lupa Ya ALLAH…bahwa Anak dan Istriku belum beli baju lebaran….?

Tags: , , ,

Share on Facebook

Perspektif Agama

Ya Allah, Saya Menemukan-Mu di Mall
Oleh arifandigadjong - 16 September 2009 - Dibaca 765 Kali -

Seperti biasa, setelah lelah berkeliling mengurusi usaha, saya singgah di Plaza Tarakan, khususnya karena di Lantai tiga, ada café yang menyuguhkan HotSpot gratis. Pelayan di café itu, mungkin karena hampir saban hari, mereka tidak datang lagi tawarkan menu ke saya, tetapi nanti menjelang waktu buka puasa.

Berbagai informasi telah saya dapat dari hasil download internet, termasuk membuka beberapa tulisan blogger kompasiana dan beri komentar secukupnya. Tetapi, entah mengapa perasaan nggak betah menghinggapi saya, padahal waktu baru pukul 16.30 sore. Ya dengan helaan napas panjang, saya kemas laptop untuk bersiap tinggalkan café. Saya juga baru sadar, kalau ternyata belum shalat Ashar, bergegaslah saya menuju mushallah di lantai dasar mall. “buru-buru nih Pak?”, sapa pelayan café ke saya. “Ntar habis magrib, datang lagi”, jawabku singkat.

Selesai tunaikan shalat Ashar, saya kembali berpikir, pulang ke rumah atau tunggu buka puasa saja di mall. Saya kembali teringat janji dengan pelayan tadi, hingga kuputuskan untuk tunggu saja waktu buka puasa di mall, sambil jalan-jalan tentunya. Kurang lebih 30 menit kelilingi lantai satu mall, dari satu toko ke toko lainnya, saya jadi lelah juga, lalu berpikir cari tempat duduk sebentar. Kebetulan saya berdiri tidak jauh pintu dua mall, kulihat di dekat meja pos satpam, ada kursi kosong, karena yang bertugas dua orang, sedangkan kursi ada tiga.

“Permisi pak, numpang duduk…?” pintaku pada satpam itu.

“Silahkan pak, silahkan…!” jawab satpam yang berbadan tinggi besar, kulitnya hitam tapi relative bersih.

Sebenarnya tadi saya agak canggung juga, apalagi dengan melihat perawakan satpam yang tinggi besar itu, tetapi dari jawaban santun itu, bahkan dengan membuka dua tangannya waktu persilahkan duduk, rasa canggung itu berangsung-angsur hilang.

Entah mengapa dalam hitungan beberapa menit saja, antara saya dengan bapak satpam itu langsung akrab, khususnya terhadap satpam yang berbadan tinggi besar dan berkulit hitam itu, dia perkenalkan dirinya, sebut saja “Baharuddin”. Temannya bilang “Bahar Hening”, maksudnya si Bahar yang Hitam tapi Bening. Setelah saling memperkenalkan diri, mulailah pak Bahar bercerita tentang dirinya.

Dari penuturannya, ternyata baru empat tahun terakhir ini dia merasa sebagai manusia sekaligus ayah dari anak-anaknya. Mulai umur 17 an dia sudah berkelana dari satu kota ke kota lainnya di Indonesia ini, bahkan sampai di negara tetangga, Malaysia. Anehnya bahwa semua kota yang didatangi, pasti kerja yang bersifat maksiat, haram dalam pandangan agama. Wujud prihatin dari orang tuanya, maka dia dikawinkan pada umur 25 tahun, dengan harapan perilakunya bisa berubah. Tetapi, nyatanya tidak, dia tetap saja berkelana dengan kerja maksiat itu. Dia hanya pulang lihat istrinya kadang dua tahun sekali, itu pun tidak bawa apa-apa. “namanya saja uang panas Pak, menguapnya juga cepat”, menurutnya. Jadi dalam kelana pak Bahar, istrinyalah yang menghidupi anaknya yang sudah tiga orang, dengan kerja serabutan. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, pak Bahar melanjutkan ceritanya, bahwa bahkan sampai tiga anaknya lahir dia tidak pernah lihat, apalagi memberi nama buat anaknya. Semuanya diurus sendiri sama istrinya dengan bantuan tetangga.

“Saya seperti Muallaf saja, Pak.” Sergah pak Bahar menatapku.

“lho, memangnya pak Bahar, dulu bukan muslim…?

“KTP sih iya, tapi bagaimana saya bisa dikatakan muslim, mengaji tidak, puasa tidak, sama sekali tidak mengenal perintah agama, boro boro kenal tuhan, apakah itu yang dikatakan muslim…? Allah itu butuh pengakuan kita sebagai hamba, iya kan?”

“Trus, kapan mulai merasa muslim…?”

Pertanyaanku itu, membuat pak Bahar melanjutkan ceritanya, bahwa terakhir dia berkelana di Ambon. Secara tidak sengaja, dia bertemu tetangganya dari di kampung dan masih jelas diingat pesan tetangganya tersebut, “Bahar, kau pulanglah…! Anakmu hampir empat sekarang, istrimu tinggal menjual diri yang tidak dilakukannya untuk menghidupi anakmu. Kalau kau merasa laki-laki, pulanglah…!”. Entah mengapa pak Bahar tidak marah mendengar kata-kata itu, bahkan kata-kata itu menghantuinya selama dua bulan, akhirnya diputuskanlah untuk pulang kampung.

Dalam perjalanan pulang kampung, pak Bahar masih dihantui oleh pesan tetangganya dan dihinggapi rasa takut dan malu, baik terhadap istri, anak-anaknya, orang tua dan tetangga di kampung. Pertarungan bathinnya hampir saja membatalkan niatnya untuk pulang, tapi hatinya tetap berkeras untuk melihat anak dan istrinya, apalagi sekarang lagi hamil besar.

Sampai di rumah, hanya ada anak-anaknya dan dari yang sulung dia dapat info bahwa istrinya lagi dibawa oleh tetangga ke rumah sakit, orang tuanya tidak bisa hadir karena juga sedang sakit. Tetangga persis sebelah rumahnya beri kabar, bahwa istrinya mau melahirkan dan entah kenapa juga baru sekarang proses melahirkannya agak susah. Bagai disambar halilintar, pak Bahar segera menghambur ke rumah sakit. Di rumah sakit itu, di dapatnya para tetangga berkerumun, barulah pak Bahar dapat kejelasan, bahwa istrinya sudah sekitar empat jam di kamar bersalin dan belum melahirkan juga. Salah seorang tetangga, terbilang sudah berumur, membisik ke pak Bahar untuk tunaikan shalat sunat, minta kemudahan pada Allah untuk istrinya. Dapat bisikan itu, pak Bahar jadi bingung untuk shalat, ambil air wudhu saja tidak tahu. Dengan jujur kemudian pak Bahar minta dituntun ala kadarnya sama tetangga tersebut. Selesai sholat, pak Bahar minta ampun sama Allah dan berjanji akan berubah. Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengarlah tangisan bayi, dan tak lama kemudian dokter mengabari bahwa anak dan istrinya selamat. Pak Bahar tak menyadari air matanya berlinang, disertai isakan yang tidak tertahankan. Pengalaman spiritual itulah yang mengantar pak Bahar bisa menjadi muslim seperti sekarang ini.

Bersama pak satpam ini, tak terasa waktu buka puasa tinggal lima menit lagi, pak Bahar kemudian pamit untuk keluar dari mall sebentar, tak lama datang lagi dengan membawa kantong plastik warna hitam, ternyata pak Bahar dari beli pisang molen, jumlahnya delapan biji. Dua menit sebelum buka, satpam lainnya empat orang datang berkumpul, jadi dengan saya ada tujuh orang. Pak Bahar kemudian keluarkan gelas dari laci meja, saya pun keluarkan air mineral dari tas yang memang jarang ketinggalan. Masing-masing gelas diisi air mineral dan di atasnya di kasih satu biji pisang molen. Doa buka puasa disepakati di baca pak Bahar, Allohuma laka sumtu…. Acara buka puasa bersama ini berlangsung cukup singkat dan dilanjutkan shalat berjamaah di mushallah mall. Selesai shalat, saya pun pamit mau kembali ke café, disertai ucapan terima kasih atas buka bersamanya.

Di atas escalator menuju lantai tiga mall, saya tidak berhenti berpikir, kenapa buka puasa bersama tadi dengan pak satpam, terasa sangat nikmat dan sangat melegakan, padahal cuma segelas air mineral dan sebiji pisang molen, dibandingkan di café atau warung makan dekat mall, orang bisa pesan makanan enak apa saja. Entah…buka puasa kali ini terasa lain. Cerita pak Bahar tentang dirinya juga menggelayut di pikiranku. Allah memang selalu membuka pintu taubat bagi hambaNya, Maha Pengasih dan Penyayang. Allah memang memberi Rahmat bagi siapa saja yang dikehendakiNya. Hatiku berbisik, “Ya Allah, saya MenemukanMu di Mall….”

Share on Facebook

Beberapa Pemikiran Politik

SBY dan Perppu Kebablasan, Mohon Solusi Kompasianer!
Oleh arifandigadjong - 25 September 2009 - Dibaca 643 Kali -

Terus terang tulisan ini, diilhami blog Prayitno Ramelan-pak Pray, 23 September 2009, Kontroversi Perppu Plt KPK, Wajar Saja Sih. Saya ingin mengapresiasi kembali biar lebih spesifik, termasuk ragam tanggapan dalam tulisan saya kemarin, SBY Terjepit Diantara Dua Tanduk, khususnya tanggapan Suropati yang mengatakan KPK sudah tidak independen lagi dengan perppu tersebut, karena ketiga Plt KPK sudah tangan panjang SBY . Saya katakan perppu kebablasan, karena ada tiga asumsi yang mendasari: pertama, KPK lahir karena UU, kemudian dianulir oleh perppu, bagaimana tinjauan hukumnya? Kedua, dengan perppu, berarti Plt KPK lahir karena penunjukan SBY. Bagaimana dengan independensinya, karena masalah korupsi ini bisa mengenai siapa saja, termasuk orang-orang partai back up SBY, bahkan orang yang ada di Istana Negara sekalipun, nah apakah akan tertutupi kalau ada temuan korupsi atau bagaimana? Ketiga, untuk uji perppu ini dengan political review oleh DPR, dimana tentunya akan sangat sulit terjadi bantahan terhadap perppu ini secara obyektif, karena hampir bertepatan dengan waktu penyusunan KIB kedua, di mana masing-masing partai punya kepentingan besar terhadap SBY.

Secara sederhana untuk pemberantasan korupsi di Indonesia, memang sangat wajar kita berharap banyak kepada KPK, karena Lembaga Tinggi Negara inilah satu-satunya yang independen dan tidak berada di bawah pengaruh pemerintah. Selama ini kita selalu trauma dengan berbagai kejadian, di mana kepentingan politik cenderung lebih tinggi dengan kepastian hukum, sebagai salah satu contoh lihat keluhan Marissa Haque atas kasus korupsi di Pandeglang.

Pro kontra atas perppu ini, sudah digambarkan pak Pray, yaitu yang kontra mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, di mana beliau berharap masalah penetapan anggota KPK baru tetap mengikuti prosedur. Sementara yang pro, adalah Mensesneg Hatta Rajasa, menyatakan perppu diterbitkan untuk menambah dua pasal dalam Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kedua pasal yang ditambahkan adalah Pasal 33A dan 33B,mengenai pengangkatan pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK, apabila pimpinan KPK kurang dari tiga orang. Termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, menerangkan perppu ini merupakan antisipasi jika polisi terus menerus memaksa mempersangkakan pimpinan KPK. Hal ini bisa memakan waktu yang lama. “Lalu tak ada Perpu Plt, bisa-bisa KPK-nya mati.” Pengeluaran perppu penunjukan plt pimpinan KPK dianggapnya konstitusional. Ia menjelaskan, dalam UUD 1945, terdapat dua alasan penerbitan UU Darurat, pertama dalam pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan munculnya UU Darurat karena keadaan bahaya. Kedua, diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan karena keadaan darurat sipil. “Jadi perppu tentang plt KPK itu sah,” ungkapnya, Selasa (22/9). Mahfud menilai penerbitan perppu penunjukan pelaksana tugas (Plt) KPK akan menyelamatkan KPK. Karena tanpa Plt, KPK akan mengalami kelumpuhan. Ia menyatakan kelumpuhan KPK akan menimbulkan persoalan terhadap keabsahan kuorum dalam pengambilan keputusan di antara pimpinan KPK. Sehingga keabsahan kuorum kolegialitasnya akan dipertanyakan. “Empat saja ada yang mempersoalkan, apalagi dua orang,” ungkapnya. Ia khawatir tersisanya dua dari lima pimpinan KPK akan menimbulkan masalah hukum.

Bisa-bisa nanti di praperadilankan,. … Perppu itu hanya bisa diuji oleh DPR dengan political review”.

Seperti saya katakan di awal tulisan, bahwa perppu ini kebablasan dengan berbagai pertimbangan, di mana saya berharap ada masukan dari kompasianer. UU Pengangkatan anggota KPK telah dianulir dengan perppu oleh Presiden, setidaknya karena dasarnya negara dalam keadaan genting, di mana hal ini cukup dengan pandangan subyektif presiden. Pertanyaannya, adalah apa yang terjadi di negeri ini, sehingga masuk kategori keadaan genting? Apakah karena desakan dari pihak Kapolri untuk memeriksa dua anggota KPK yang telah jadi tersangka? Ataukah karena anggota KPK tinggal dua orang? Saya bukan orang dengan basic hukum, tapi saya melihatnya dua masalah di atas bukan dasar yang kuat untuk menjadi justifikasi negara dalam keadaan genting. Sewaktu Antasari sudah non aktif, sebenarnya KPK sudah sangat sulit ambil putusan, coba saja bayangkan kalau keputusan KPK mengharuskan terjadinya vooting, dua lawan dua hasilnya pasti sama, kemudian keputusannya akhirnya, harus lewat siapa? Maksud saya, kenapa bukan dari dulu-misalnya sebelum pilpres, opsi penambahan anggota KPK dilakukan, tentunya ada waktu untuk sesuai dengan prosedur.

Perppu ini melahirkan Plt KPK, di mana orang-orangnya ditentukan juga oleh pandangan subyektif Presiden? Karena itu santer dibicarakan independensinya. Independensi KPK adalah taringnya selama ini, karena bebas untuk mengobok-obok siapa saja yang melakukan tindakan korupsi. Jadi, di sini seperti kata Mahfud MD, perppu dibuat supaya KPK tidak lumpuh, sementara pada sisi lain, KPK sudah tidak lumpuh tapi tidak punya taring lagi. Ibarat sebuah arena balapan mobil, ketika saya tidak punya lawan untuk adu kecepatan, maka Anda saya berikan mobil untuk jadi peserta balapan juga (karena saya tahu Anda jago balap, tapi nggak sanggup beli mobil), di mana tentunya berbagai syarat saya harus Anda sepakati dulu. Selanjutnya, karena berada di arena yang sama, tentunya Anda tidak berani atau tidak tega mengungguli saya, bahkan seandainya ada lawan ketiga Anda mungkin akan menghalangi orang itu untuk menyalip saya, supaya saya bisa juara. Itulah cara Anda berterima kasih kepada saya. Nah, untuk apa ada perppu?

Untuk menguji kelayakan perppu ini, yaitu dengan political review DPR. Sejujurnya, saya mengakui kemampuan SBY bermain pada timing politik, pas banget. Penentuan bahwa apakah pandangan subyektif presiden tentang keadaan genting, bisa diterima atau tidak oleh DPR melalui political review, tentunya akan dilaksanakan secepatnya. Di mana hal ini bisa saja bertepatan dengan saat-saat partai yang ingin masuk dalam kekuasaan melakukan negosiasi final, tentunya berharap banyak dari perhatian presiden terpilih. Dalam pandangan politik, saya bisa simpulkan sementara, bahwa political review ini, akan berjalan tanpa sandungan yang berarti dari parlemen, karena posisi tawar presiden berada dalam porsi yang sangat besar, yaitu kursi kabinet KIB Kedua. Jadi, saya pesimis dengan hasil political review ini.

Berbagai asumsi saya inilah, diharapkan para Kompasianer bisa memberikan solusi tentang layak tidaknya perppu Plt KPK dikeluarkan, khususnya asumsi kondisi negara dalam keadaan genting seperti apa seharusnya. Saya tetap berharap semoga kepastian hukum di negeri ini tetap ada, supaya keadilan tetap jadi payung kehidupan bagi bangsa Indonesia.

Salam Kompasiana

Contoh Persahabatan

Bercinta, Dahsyatnya Pakai Kaki, Pengakuan Anne Ahira
Oleh arifandigadjong - 26 September 2009 - Dibaca 2024 Kali -

Perkenalanku dengan Anne Ahira dimulai pada awal bulan puasa, yaitu lewat media pertemanan di facebook-fb. Awalnya iseng aja main fb, karena lihat nama dan tampang di foto yang bagus, biasalah laki-laki seperti saya, langsung klik aja, berteman dong? Lama kemudian jadi akrab, karena seringnya chatingan di fb. Berbagai masalah pribadi dan aktivitas rutin saling berbagi. Membaca namanya saya sangka Ahira-dia lebih senang disapa pakai nama itu, adalah orang Indo, dari jepang, pikiran saya, ternyata orang Jawa Barat, asli Bandung.

Berselang seminggu perkenalanku dengan Ahira, ketika saya buka fb muncul di layar tab iklan, Asian Brain-Anne Ahira dengan tanda klik untuk jadi penggemar dan langsung saja saya klik. Ingatanku langsung tertuju kepada Ahira, “namanya bagus amat ya?”, bathinku mengguman. Setelah jadi penggemar Asian Brain-Anne Ahira, di email saya selalu muncul pesan yang bersifat spirit building dan tertulis pada subject email: Arif, Personal dari Ahira. Saya jadi larut dengan pesan spirit building yang muncul, bahkan kalau sampai seminggu tidak muncul pesannya, hatiku tiada berhenti bertanya, “Ahira mana spiritnya, spirit…kapan bercinta lagi?

Klik di sini untuk lihat Spirit building.

Kemarin, sewaktu mau buka blog kompasiana, seperti biasa lewat yahoo mail untuk cek email masuk. Betapa girangnya saya, pada email masuk urutan keempat, tertulis: Arif, Personal dari Ahira. Tanpa ulur waktu langsung klik dan baca. Ternyata Ahira sedang berada di Korea. “salam rindu Ahira, ayo kita bercinta!”, bathinku.

Dalam email nya Ahira banyak bercerita tentang negara-negara yang dikunjungi, termasuk proses hidup yang dilaluinya sampai akhirnya tercapai apa yang diimpikannya. Hal ini Ahira ceritakan dengan harapan saya dapat mengambil hikmah positif dari proses hidup itu. Banyak hal menarik dan positif memang. Diceritakanlah sewaktu kecil Ahira suka menggunting kalender yang bergambar tempat-tempat indah yang ada di seluruh dunia ini dan fotonya yang sudah di fotocopy, ditempelkan ke semua potongan kalender tadi. Semua potongan kalender dan fotonya di tempel hampir memenuhi dinding kamarnya. Sambil berbaring di ranjangnya, Ahira menatap gambar-gambar itu, dan menetapkan dalam hatinya bahwa suatu saat akan dikunjunginya semua tempat indah itu. Apa yang terjadi kemudian, ketika Ahira dewasa, semua tempat indah itu memang telah didatanginya satu persatu. Jadi, menurut Ahira, kita jangan pernah takut mengimpikan sesuatu, karena dengan kemauan keras , impian tersebut akan kita raih. Resep yang disarankan kepada saya untuk menggapai impian adalah ikutilah kemana kakimu akan melangkah, karena dia-kaki, akan mengantarkan kita kepada impian itu yang luar biasa. Semua yang Ahira impikan, akhirnya bisa dicapai, khususnya ketika aktif sebagai internet marketer, ternyata Ahira yang saya kenal adalah CEO Asian Brain, sebuah badan usaha internet marketer.

Masih merenungkan kalimat spirit Ahira, saya pun membalas emailnya:

Terima kasih Ahira atas emailnya

Sebuah Spirit yang luar biasa

“jadi Ahira, selama ini bercintanya pakai kaki ya?

Best Regards

aag

“iyalah Arif, lebih dasyat pakai kaki, daripada mata, sering nipu kan?” email Ahira kemudian.

Bercinta di sini menurut saya dengan Ahira dalam beberapa kali berbalas email adalah kemauan kuat menikmati hidup untuk menjelajahi dunia, meraih impian. Seperti kata-kata dalam suntingan email Ahira berikut ini: Arif, supaya bercinta bisa sukses, proses pematangan diri menuju dewasa, harus selalu di jaga, agar tidak keluar dari rel, impian menunggu di depan! Demikianlah semoga tulisan ini ada mamfaatnya, khususnya dalam upaya menjemput impian.

Salam Kompasiana

Beberapa Pemikiran Politik

Perang Jilid II, SBY Pro Aburizal Vs JK Pro Surya, Siapa Lagi Kecewa?
Oleh arifandigadjong - 28 September 2009 - Dibaca 1223 Kali -

Perhelatan Munas Golkar akan berlangsung tidak lama lagi, sehingga wajar jika dikatakan bahwa suhu politik menjadi kian panas, barbagai trik politik ramai dibincangkan di berbagai media massa, baik oleh elite internal Golkar sendiri, maupun eksternal yang punya kepentingan dengan Golkar ke depan. Malah salah satu elite Golkar, kebetulan teman di fb selalu mengisi dinding fb-nya dengan pesan Munas. Menurut saya, Munas Golkar ini menjadi penting, khususnya dalam kaitan dengan asumsi ikut mainnya SBY di arena munas dan reaksi JK terhadap kondisi itu, baik perspektif antisipasi taktis tertutup, posisi bargaining untuk sharing power ataukah muncul sikap perang terbuka yang akan menutup pintu kepentingan SBY di Golkar.

Memanasnya suhu politik menjelang Munas ini, selain karena pengaruh SBY vs JK, juga ada beberapa faktor lain yang tak kalah pentingnya, yaitu figur luar Golkar yang mau jadi kandidat presiden nanti, politisi/professional di luar Golkar yang punya kepentingan dengan Pemerintah khususnya menyangkut KIB kedua, elite Golkar sendiri yang punya target politik besar ke depan. Factor lain ini akan ikut mempengaruhi naiknya suhu politik menjelang Munas, apakah nanti mereka melebur dengan pilihan pro SBY atau pro JK, ataukah mereka menggerakkan scenario sendiri dengan deal tertutup terhadap figure yang bertarung.

Menurut saya, SBY akan ikut main di Munas Golkar, malah full team, karena kepentingan politiknya besar, antara lain mengamankan Parlemen, penyusunan KIB kedua, peluang oposisi, pilpres ke depan. SBY menyadari Golkar adalah partai yang punya SDM-manusia dan modal yang handal, pengalaman politik paling matang, jaringan birokrasi yang mapan, termasuk pada akses politik internasional yang baik. Semua ini mengharuskan SBY untuk mengamankan kepentingannya di Golkar, nah di munas inilah moment paling pas. Sebagai pemain besar, tentunya SBY mempersiapkan figure yang paling bisa dikendalikan, dalam pengertian mengendalikan orang untuk mengamankan struktur. Diantara sekian banyak figure yang masuk bursa, Aburizal Bakrie inilah yang paling layak dipertaruhkan secara politik untuk menjaga kepentingan SBY di Golkar.

Ada beberapa faktor hingga SBY dikatakan memback up Aburizal atau pandangan sebaliknya kenapa Aburizal mencantol ke SBY? Penyakit umum partai, khususnya kelihatan sekali waktu pilpres lalu adalah partai besar mengalami perpecahan internal, sehingga muncullah kubu-kubu dalam partai. Di internal Golkar, sudah jadi rahasia umum, bahwa terbagi dalam dua kubu besar, yaitu antara JK dan AT. Rahasia umum juga bahwa waktu pilpres lalu, AT membawa gerbong Golkarnya ke SBY termasuk Aburizal, sedangkan kubu satunya berjuang untuk menangkan JK. Personal garansi AT inilah yang merekatkan Aburizal ke SBY. Pada sisi lain, SBY melihat kinerja Aburizal selama KIB satu tidak ada masalah, sedangkan Aburizal dengan berbagai pertimbangan pastinya tetap berharap masuk dalam KIB kedua. Malahan untuk target lebih besar Aburizal bersiap juga jadi pimpinan nasional pasca SBY yang bisa paket dengan partai besutan SBY.

Aburizal ini, tantangan terbesarnya adalah kendala isu yang muncul dari masalah LAPINDO. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa masalah LAPINDO ini akan terus menghujani pada diri Aburizal, di mana kemudian akan dikaitkan dengan Golkar. Jadi, pertanyaannya sanggupkah Aburizal mengemas isu besar lainnya sebagai penyeimbang isu yang bisa menutupi blundernya isu LAPINDO ini? Tentunya tidak mudah

JK sebagai pimpinan Golkar, tentunya punya kepentingan untuk mengantarkan partainya tetap eksis dan jadi kiblat para politisi. JK sebagai politisi, tentunya berharap bahwa Munas akan menetapkan figur dari kubunya sebagai pemenang. Jika kubu JK yang menang, maka tetap akan punya andil besar untuk menentukan arah politik nasional ke depan, menegosiakan kepentingannya dan partai kepada pemerintah yang berkuasa, menentukan figur yang akan bertarung dalam pilpres ke depan, dan sangat mempengaruhi arah kebijakan partai. Secara manusiawi, sangat wajar jika JK menginginkan semua itu, apalagi dengan posisinya sebagai ketua umum. Sudah rahasia umum juga bahwa JK memainkan Surya Paloh untuk menang di Munas Golkar. Figur Surya inilah yang paling ngetol memperjuangkan JK menang dalam Pilpres kemarin. Dari dimensi populis dan tingkat penerimaan DPD-DPD Golkar, Surya inilah yang dalam hitungan politik bisa mengalahkan Aburizal.

Antara Aburizal dan Surya, keduanya sulit di prediksi siapa yang akan memenangkan pertarungan pada Munas Golkar nanti. Ada enam asumsi dasar bisa dijadikan rujukan dalam mempredikasi:
1. Dimensi Historis Partai Golkar
2. Dimensi Back up figur struktural
3. Dimensi penguasaan lapangan
4. Dimensi daya tarik figur kandidat
5. Dimensi Kandidat banyangan
6. Dimensi isu sentral yang digulirkan
7. Dimensi Cost politic

Dari ketujuh asumsi itu, hanya satu sampai tiga yang penting dibahas, termasuk juga kandidat banyangan, lainnya saya anggap relatif sama untuk kedua figur.

Partai Golkar seperti diketahui bersama, sekian lama berkuasa ataupun back up utama kekuasaan, khususnya pada jaman Suharto, sehingga elite-elite partai-baik di pusat maupun di daerah, terbiasa dengan kewenangan atau pembagian kekuasaan. Sewaktu SBY-JK kalahkan Wiranto-Wahid, maka roda kekuasaan partai Golkar cepat berputar dan tentu saja mengarah ke JK yang pada waktu itu berkuasa. Padahal JK waktu itu, dalam hal ini mengalahkan figur yang diusung oleh Partai Golkar, tetapi tetap saja diserahkan bulat-bulat. Nah, dari dimensi ini, menguntungkan bagi Aburizal yang dianggap dekat dengan kekuasaan ataupun minimal peluang besar dapatkan pembagian kekuasaan.

Back up figur structural relatif sama-sama kuat dan yang berbeda adalah ada yang mantan dan ada sementara menjabat. Pendekatan structural institusi partai, maka yang menjabatlah yang dianggap lebih punya pengaruh. JK sampai sekarang adalah ketua umum, sehingga diasumsikan lebih kuat pengaruhnya sampai ke DPD I dan II. Nah, dari dimensi ini, sangat menguntungkan Surya.

Dimensi penguasaan lapangan menurut saya bermakna dua hal, yaitu penguasaan arena Munas dan pengaruh ke DPD I dan DPD II. Di sini saya melihat juga relative sama saja. Tim yang satu menggunakan kewenangan structural untuk mengendalikan, sementara tim satunya menggiring masuk pada wilayah kekuasaan untuk merebutnya. Tradisi Munas seperti ini cenderung semua negosiasi di selesaikan di luar arena, baru kemudian masuk untuk ditetapkan.

Faktor masuknya Tommy dalam bursa calon di Munas Golkar, memang sedikit banyaknya memiliki pengaruh yang tidak bisa dianggap enteng, walaupun di sini saya menganggapnya hanya sebagai kandidat bayangan. Menurut saya, faktor yang mempengaruhi Tommy masuk dalam arena politik, yaitu mengamankan bisnisnya, menguji kehormatan politik keluarga cendana, dan entry point scenario politik jangka panjang bagi keluarga cendana. Tetapi untuk target menang pada Munas nanti, dari kaca mata politik saya melihatnya sangat berat dan saya juga yakin memang bukan menang target utama. Jadi opsi maju jadi calon bagi Tommy adalah membuat figur tertentu menang lewat perannya, yaitu menjadi pemecah suara di tingkat DPD-DPD khususnya untuk wilayah Jawa. Persoalan nanti Tommy arahkan kemana kumpulan pengaruhnya, ditentukan oleh negosiasi kepentingan dan siapa diantara Aburizal dan Surya yang bakal menang. Nilai jual dan pengaruh sampai Tommy masuk bursa dalam pandangan saya adalah nama besar pak Harto memang tetap kuat, Cost Politik yang berlimpah, dan pentolan structural di Partai Golkar yang ingin mempercepat regenerasi di tubuh partai.

Spirit kelompok muda di Golkar untuk percepatan regenerasi di tubuh Golkar sebenarnya sudah muncul sejak Paradigma Baru Golkar di gelindingkan. Dan sepertinya tambah kuat setelah dua kali beruntun kalah di pilpres. Ada dua pertanyaan besar yang selalu diarahkan kepada kelompok muda ini, yaitu pertama, sanggupkah kaum ini menjawab dengan dewasa tantangan politik zaman yang komprehensif, baik perkembangan situasi politik nasional maupun internasional? Kedua, sanggupkah kelompok muda ini, membuat dan menggerakkan grand design politik kebangkitan Golkar, baik jangka pendek maupun jangka panjang? Jawaban inilah yang ditunggu oleh elite-elite tua Golkar untuk bisa mengamini semangat muda ini.

Elite-elite Golkar yang masuk klaim kelompok tua, pada prinsipnya mengakui bahwa spirit kelompok muda Golkar, sebenarnya sangat dibutuhkan oleh partai untuk memberikan warna baru yang lebih dinamis dalam pengembangan partai. Pada sisi lain, banyak juga kelompok tua Golkar yang tidak rela kehilangan panggung politik, walaupun mereka sadari bahwa penontonnya sudah sepi. Tarik menarik kelompok tua dan muda di partai Golkar sudah kelihatan khususnya dua dekade terakhir.

Berbicara nama besar pak Harto saya punya cerita dari kampung waktu mudik di Kabupaten Bone-Sulsel. Orang-orang tua di kampung mencoba membedakan perasaan mereka terhadap pemimpinnya dengan mengatakan, bahwa mereka menyukai SBY karena KPK, mereka mencintai JK karena teman se kampung dan cepat tanggap serta taktis, dan mereka merindukan Suharto karena rasa aman.

Jadi dalam perang jilid II di Munas Golkar antara SBY dan JK ini, saya lihat peluang antara Surya dan Aburizal sangat ditentukan image yang ada pada masing-masing DPD I dan II, apakah pilihannya nanti pada pendekatan dimensi historis atau dimensi figure structural, dan ataukah karena rakyat rindu dengan rasa aman. Saya kadang juga berpikir, jangan-jangan elite-elite kelompok tua Golkar, karena desakan dan kesadaran pengembangan Golkar ke depan mempersilahkan kelompok muda lanjutkan estafet. Apalagi karena pilihan antara Aburizal dan Surya sama-sama punya resiko besar untuk kebangkitan partai Golkar.

Disadari atau tidak Perang Jilid II ini tentunya menghasilkan menang atau kalah, dan akan ada yang kecewa, semoga saja rasa kecewa ini bisa terbagi. Semoga bermamfaat

Salam Kompasiana

Share on Facebook