- Bank Syariah Menuju Branding Sosial
- Oleh arifandigadjong - 4 September 2009 - Dibaca 246 Kali -
-
Masih jelas diingatanku, orang tua saya dulu, kalau simpan uang, selalu di bawah kasur ataukah di dalam sarung bantal. Ketika mau bepergian, uang dibawa secukupnya dan disimpan dalam saku celana Simpa-celana dalam yang modelnya celana pendek, terbuat dari kain tipis dan dilengkapi kantong ukuran lebar. Waktu itu, karena masih belia, saya tidak pernah bertanya, mengapa demikian?
Tahun 1990, saya semester empat, fakultas ekonomi, jurusan manajemen, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Waktu itu, rektornya masih Almarhum DR. Abdurrahman A. Basalamah. Setiap hari, kamis, jam 09.30 wita, saya ikuti mata kuliah Ekonomi Pembangunan dan sebagai penanggung jawab mata kuliah bapak Drs. Muchlis Sufri, sekarang ini sudah bergelar doktor. Dalam kuliah minggu keempat, pak Muchlis bawakan kuliah, khusus tentang Sistem-sistem Ekonomi. Pada waktu inilah terjadi perdebatan antara pak Muchlis dengan mahasiswa, termasuk saya. Inti masalah adalah pembahasan Sistem Ekonomi Islam (SEI)-karena memang di UMI selalu ada mata kuliah berbau Islam. Saya tidak sependapat dengan adanya SEI, karena saya anggap tidak punya mainstream pemikiran, malah saya menganggap hanya penjiplakan dari system ekonomi yang sudah, dan Islam tinggal masukkan ayat-ayat Alquran sebagai back up untuk pembenaran argument. Kebetulan waktu itu, hampir semua mahasiswa dalam kelas sepakat dengan saya. Termasuk waktu itu digambarkan sama pak Muchlis, system perbankan dalam pandangan Islam. Benturan antara mahasiswa dengan pak Muchlis, dalam masalah perbankan Islam, lebih mengarah pada masalah syndrome masyarakat tentang riba. Akhirnya, disepakati bahwa Riba dalam Islam kalau, umpama kredit untuk konsumtif, tetapi tujuan produktif boleh. Pendapat ini, sampai sekarang tetap saya yakini.
Pada saat saya kuliah, rutin setiap bulan mendapatkan jatah dari orang tua di kampung, di mana setiap tanggal lima bulan berjalan, selalu dapat surat dari orang tua untuk cek rekening di BNI Makassar. Saya pun kemudian sadar dan berani bertanya, bahwa orang tua saya, sekarang ini sudah mengenal bank, bukan lagi seperti dulu, simpannya di bawah kasur atau bantal. Orang tua memang tergolong penganut agama Islam Fanatik, menurut penuturannya, mereka dulu tidak menyimpan di Bank, karena menurut faham mereka bunga bank itu riba. Perkembangannya kemudian, dikampung ramai terjadi pencurian dan perampokan, khususnya ketika para petani dan nelayan selesai menjual hasil panennya. Kondisi ini kemudian dicermati ulama, sehingga membolehkan simpan uang di bank, dan sebagai toleransi bunga tidak diambil, di samping itu juga ada keberhasilan promosi dari perbankan konvensional untuk menarik dana masyarakat. Pada asumsi masyarakat bawah ada pertarungan antara keimanan dan keamanan. Jadi, syndrome riba bagi perbankan di mata masyakat, sampai sekarang ini sudah bukan lagi masalah krusial.
Secara umum perbankan itu ada untuk sebuah tujuan mulia, yaitu wahana pengaturan lalu lintas moneter, mengumpulkan dan mengamankan dana masyarakat, dan membantu permodalan bagi dunia usaha. Begitupun dengan eksistensi bank syariah, tentu juga punya tujuan yang sama, sedangkan yang membedakan adalah trademark-nya yaitu Islam lewat nama syariah. Eksis tidaknya sebuah lembaga perbankan, apakah itu konvensional atau syariah, sangat ditentukan oleh sanggup tidaknya memiliki segmen pasar yang jelas dan konsisten. Pertanyaan sederhana, adakah masyarakat mau menabung atau adakah dunia usaha yang memamfaatkan fasilitas kredit bank tersebut? Semua tergantung kesanggupan dari pengelola bank menciptakan brandimage yang populis.
Dalam perjalanan bank syariah, brandimage yang populis dalam fasilitas kreditnya, yaitu bagi hasil. Ini pun masih perlu di ukur tingkat kredibilitas masyarakat terhadap system bagi hasil ini, karena untuk real bisnis jangka pendek, agak mudah untuk monitoring pemamfaatan fasilitas kredit yang diberikan ke nasabah, karena tinggal berhitung return di belakang, pada bulan selanjutnya. Sekarang bagaimana dengan bisnis besar yang sifatnya investasi jangka panjang, di mana mungkin empat-lima tahun baru masuk fase komersial. Untuk bisa monitoring pemamfaatan dana, harus ada semacam joit operation-atau semacamnya, antara pihak bank syariah dengan badan usaha dimaksud, pola ini harus ada karena sifatnya bagi hasil. Pertanyaannya adalah apakah dunia usaha tersebut, bersedia dimasuki dapur usahanya, di mana di dalamnya mungkin ada unsur usaha yang sifatnya strategis dan sangat tertutup bagi pihak luar. Lain halnya dengan perbankan konvensional, yang penting badan usaha tersebut bayar bunga plus cicilan pokok, masalah dianggap selesai. Saya pikir masyarakat pelaku ekonomi kita perlu mendapatkan penjelasan secara detail dan lengkap tentang system bagi hasil ini. Kalaupun model join operation ini bisa berlaku, sejauh mana bank syariah sudah mengakomodir SDM handal untuk disandingkan dengan dunia usaha skala besar.
Pada sisi lain, dalam dunia perbankan kita telah terjadi euphoria syariah. Kita lihat saja, bank konvensional ramai-ramai memamfaatkannya, di mana dari dimensi strategi usaha sah-sah saja. Lahirnya BRI Syariah, Bukopin Syarian, BNI Syariah, malah mungkin nggak lama lagi muncul Panin-life Syariah. Sewaktu menulis artikel ini, saya berpikir bisakah bank syariah eksis di dunia perbankan, tanpa perlu membonceng ataukah dibonceng bank konvensional? Jelas, opsi ini membutuhkan keberanian dan kesiapan dari bank syariah sendiri, untuk menciptakan brandimage social, bahwa bank syariah adalah tersendiri, bukan ada karena adanya bank konvensional.
Tags: bank syariah, BNI Makassar, BNI Syariah, Branding Sosial, BRI Syariah, Bukopin Syarian, DR. Abdurrahman A. Basalamah, Drs. Muchlis Sufri, Sistem Ekonomi Islam, Universitas Muslim Indonesia
Selasa, 06 Oktober 2009
Ekonomi Syariah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar