Selasa, 06 Oktober 2009

tawarkan prospek pengembangan

Kompasiana, Bisa Nggak Lahirkan Intimiana?
Oleh arifandigadjong - 29 September 2009 - Dibaca 462 Kali -

Menulis judul ini, saya berpikir mungkin orang anggap saya ngelantur, tapi karena dilandasi niat baik, saya terus aja menulisnya. “terserah orang bilang apa, wong…niatnya baik kok”. Saya terinspirasi bagaimana Kompas menjadi icon dari media penerbitan koran, sehingga sampai hari ini bermunculanlah koran-koran baru, seperti Media Indonesia, Seputar Indonesia dan lainnya. Bahkan sangat menggembirakan dengan munculnya juga koran-koran lokal, seperti Harian Fajar dan Tribun Timur di Makassar, Tribun Kaltim dan Radar Tarakan untuk Kalimantan.

Kompasiana saya menganggapnya sebagai induk dari anak-anak yang akan dilahirkan. Sebut saja anaknya nanti Intimiana yang saya anggap sebagai turunan pertama atau dalam konteks kedaerahan untuk wilayah Indonesia Bagian timur. Demikian juga Intimiana, bisa juga punya turunan nanti, seperti Sulseliana yang mengatur berita di wilayah Sulawesi Selatan. Ataukah Kalbariana yang mengatur berita yang ada di wilayah Kalimantan Barat. Demikian seterusnya, dibiarkan aja beranak, dengan asumsi untuk pengembangan kreativitas di wilayah masing-masing. Tetapi, semua anak-anak Kompasiana ini tetap mengikuti aturan pengembangan yang sudah diatur sedemikian rupa oleh induk, yaitu Kompasiana.

Kenapa Kompasiana harus jadi induk, karena saya juga sadari bahwa membuat wahana pengembangan kreativitas seperti ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Yang susah mungkin bukanlah masalah adaptasi teknologinya, tetapi editing dan segmentasi berita sangatlah susah, apalagi jika harus dan memang harus ada, batasan tertentu bagi artikel yang mau dipublikasikan, karena berhubungan SARA, penghinaan atau pencemaran nama baik. Hal ini membutuhkan kompetensi tertentu dengan team work yang tidak sederhana. Sebagai contoh penulisan tentang sex yang tidak vulgar atau menjurus ke porno atau mungkin tulisan tentang daerah tertentu di Indonesia yang bisa menimbulkan masalah pada disintegrasi bangsa. Yang pasti pengelolaan manajemen media tidaklah mudah.

Salah satu alasan juga, adalah mungkin ada penulis di daerah-anggap saja dari Kabupaten Bone, yang takut ataukah minder menulis di Kompasiana, karena ketakutan mendengar nama Kompas. Ketakutan ini mungkin kedengaran lucu, tapi psiko orang-orang daerah bisa saja berkata lain. Coba saja, kalau mereka dengan nama Sulseliana atau Intimiana, tentu sedikit lunak pada psiko penulis daerah. Sehingga peluang pengembangan potensi menulis dan penyebaran informasi daerah akan lebih mudah.

Contoh lain, kalau orang Bone diajak ketemu JK, saya yakin gembiranya luar biasa, selain karena JK orang Bone juga Wapres RI, tapi apakah betul berani? Okey…mereka berani ketemu JK, tapi saya yakin diantara 1000 orang paling satu dua orang yang berani tatapan mata, paling jabat dan cium tangan, apalagi mengeluarkan pendapat. Kenapa? Karena JK dirindukan orang Bonenya tapi takut atau sama Wapresnya.

Contoh lainnya, ada seseorang bertanya, “anda wartawan mana?”

“Saya dari Kompas, Bang” jawab sang wartawan.

Kalau yang bertanya adalah umpama pejabat, tentunya secara psiko akan lain, dan kalau dia merasa ada kesalahan tentu kelimpungan, karena dari nama media saja orang itu sudah berdiri bulu kuduknya, mengapa? Selain langsung yakin kualitas sang wartawan, juga karena tidak ada kompromi amplop, dan terpenting ini media nasional. Apalagi kalau wartawan iseng bertanya masalah daerah, dimana kebetulan dia punya kesalahan disitu, mungkin saja pipis di tempat.

“Saya dari Radar Tarakan, Mas”

“Oh..Radar ya, gimana bos? Ataukah “Ah..beritamu kemarin tentang saya nggak baik, ralat itu!”

Mereka juga segan tentunya, tetapi mereka lebih berani terbuka, selain karena terasa dekat juga karena mereka merasa semua bisa dibicarakan.

Salah satu contoh lainnya lagi yang lebih factual, yang berhubungan dengan psiko orang daerah, waktu Kompasiana muat tulisan saya, saya coba sms teman di daerah, supaya tulisan dikritisi.

“bos tlg buka: www.kompasiana. Com”

“beri komentar tulisan, Judul: Pak SBY, Sombonglah Sekarang!”

“apa saya tidak salah pada kesimpulan ataukah konsistensi dalam gaya menulis???”

Tidak lama kemudian ada balasan sms dari teman itu.

“wow…hebat Daeng, sudah menulis di Kompas, gak sembarang orang bisa di situ” jawab teman itu.

Jadi ada semacam ketakutan tersendiri, ketika orang daerah mendengar nama Kompasiana-Kompas, padahal saya yakin pengelola Kompasiana tidak ada pretense untuk kebanggaan atau ketakutan seperti itu. Bagi kita mungkin bukanlah kebanggaan yang dipetik, tapi kebahagian karena bisa berbagi pikiran dengan pembaca, bahagia karena sudah bisa menulis.

Harapan saya dengan adanya semacam Kompasiana di daerah-daerah, yaitu eksplorasi berita yang bisa sangat berguna untuk pengembangan daerah itu akan lebih mudah dan cepat. Selain itu, pendidikan menulis bagi orang-orang daerah saya yakin akselerasinya lebih memungkinkan, karena mereka tidak dihadapkan pada syndrome kebesaran nama. Semoga bermamfaat

Salam Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar