Selasa, 06 Oktober 2009

Beberapa Pemikiran Politik

Ngasih Rp 3 Jt-an, Ya…Saya Dukung ….!
Oleh arifandigadjong - 1 September 2009 - Dibaca 334 Kali -

Dalam perjalanan ke Tideng Pale-ibu kota Kabupaten Tana Tidung, pakai speed yang berpenumpang sekitar 20-30 an orang, arah kalimat di atas, sempat menghilangkan kantuk saya, dan terus menggelitik pikiranku, selama kurang lebih tiga jam dari Kota Tarakan-Kalimantan Timur.

Kabupaten Tana Tidung, adalah kabupaten termuda di propinsi Kalimantan Timur, di mana merupakan pemekaran dari Kabupaten Bulungan. Penduduknya sekitar 15 ribu orang yang tersebar di tiga kecamatan dan 23 desa dan kelurahan, dengan jumlah pemilih sekitar Sembilan ribu orang. Suku yang mayoritas adalah Tidung-40 %, Dayak-20% dan Berusu 30%. Penduduk pendatang yang minoritas, yaitu Jawa dan Bugis sekitar 8-10 %. Dahulu, semuanya dianggap Suku Dayak, kemudian orang Dayak yang menganut Islam, dikatakan orang Tidung, karena memang mereka berkumpul di perkampungan yang namanya Tidung. Sekarang ini, penduduk Muslim sudah Mayoritas, dan menghuni hampir semua wilayah perkotaan.

Menurut info dari salah seorang presidium pembentukan Kabupaten Tana Tidung, yang saya lupa namanya, Tana Tidung dibentuk untuk secara politik mencukupkan pembentukan Kalimantan Utara (selanjutnya disebut KALTARA), di mana sesuai salah satu aturan pembentukan propinsi baru, harus mencapai lima kabupaten definitive. Jadi, KALTARA akan terdiri dari Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kota Tarakan, Kabupaten Nunukan dan terakhir Kabupaten Tana Tidung. Rencana awalnya, Kabupaten Berau, termasuk pendukung KALTARA, tapi karena masalah Ibu Kota, akhirnya tidak jadi masuk dan tetap jadi bagian dari Kalimantan Timur. Sekarang ini, sudah disepakati Kabupaten Bulungan akan jadi ibu kota propinsi, kalau KALTARA jadi terbentuk kelak. Dari tinjauan historys, memang wajar kalau Kabupaten Bulungan jadi Ibu Kota KALTARA, karena kabupaten inilah induk, yang memecah diri menjadi empat kabupaten lainnya.

Sebenarnya, percakapan antar penumpang speed-Tideng Pale Baru Express, tidak terlalu saya perhatikan, karena mereka pada umumnya menggunakan bahasa daerah-bahasa dayak, saya sendiri kebetulan orang bugis. Nanti setelah salah satu penumpang, yang duduk persis di samping saya, berpenampilan cukup rapi dan nampak berpendidikan, ikut nimbrung diskusi dan Alhamdulillah pakai bahasa Indonesia, baru saya bisa tangkap arah pembicaraan. Percakapan penumpang ini, awalnya tidak terarah, mulai dari Listrik di Tana Tidung yang hanya ada di malam hari, pelabuhan speed belum permanen, tender proyek belum jalan, sampai Udang yang sangat banyak di sungai Tidung Pala.

“Siapa ya Bah, calon bupati KTT (Kabupaten Tana Tidung) yang bagus…?”, pertanyaan inilah yang dilontarkan oleh orang yang duduk persis di samping saya, dan membuat penumpang lainnya jadi focus bicara politik. Heran juga saya, karena ternyata minat orang-orang ini diskusi politik sangat antusias. Pilkada KTT rencana dilaksanakan KPUD Tana Tidung bulan Oktober tahun ini, diikuti Sembilan paket calon, enam jalur partai dan 3 jalur perseorangan.

“Kalau yang bagus, semua baguslah Bah, apalagi kalo jadi calon bupati, pasti ngaku dan maunya dilihat baiklah Bah, tapi kan ada yang lebih penting…”, kalimat ini dikeluarkan seorang ibu-ibu, dia duduk hampir paling depan, dan saya heran, kok kata “penting” tidak dilanjutkan. “Penting apa ini Bu….?”, tanyaku penasaran.

“sampeyan ini, kayak nggak tahu atau pura-pura aja nich”, celetuk orang tua di depan saya. Jadilah diskusi ini sangat ramai dan hampir masing-masing menceritakan pengalamannya. Seorang anak muda, menceritakan pengalamannya, pada pemilu legislative, penuturannya, bahwa waktu legislative kemarin dia sendiri di beri uang Rp 600 rb untuk satu suara, dari salah seorang calon, entah dari partai mana, karena dia juga sudah lupa, supaya dipilih. Bayangkan, anak muda ini ada empat orang serumah, dan kebetulan memilih semua. Jadi, dia diberikan oleh eksekutor sang calon Rp 2,5 jt untuk dibagi ke anggota keluarganya. Masih menurut anak muda ini, bahwa itu wajar kalau harga per suara mahal, karena kalau sanggup kumpulkan 130 suara saja, sudah bisa duduk sebagai anggota DPRD KTT. Malah anak muda ini, yakin kalau ada keluarga lain, dapat lebih tinggi dari itu. Di KTT ini ada 20 kursi dengan tiga Daerah Pemilihan. “Kalau saya kemarin, nggak mau terima, walau ditawari juga,” timpal seorang ibu, duduk dua kursi di samping kanan saya. “kenapa Bu..?” tanyaku. “ya Aku nggak masuk DPT”. Semua orang jadi tertawa mendengarnya.

Dari pembicaraan yang berkembang, hanya sedikit orang yang membicarakan calon bupati KTT itu, berasal dari mana, sekampung atau bukan. Bahkan, komentar tentang latar belakang pendidikan, pengalaman apa, tentang sang calon, sangat minim terungkap. Dan yang paling krusial lagi menurut saya, hampir tidak ada komentar kritis yang menanggapi visi misi antar calon bupati ini. Terus terang saya jadi pening juga. Apakah gambaran ini buah dari proses demokratisasi yang diharapkan oleh bangsa ini? Atau inikah cerminan masa transisi demokratiasasi? Bahkan saya menerawang lebih jauh, apa ada yang salah dalam pembentukan character building bangsa kita? Adakah komparasi yang significan antara kedermawanan dengan kepentingan praktis? Apakah hukum ekonomi supplay-demand berlaku juga di rana politik? Saya jadi hanyut dengan pikiran sendiri, sampai tidak terasa speed sudah sampai di pelabuhan Tideng Pale. Saya jabati tangan orang di samping saya tadi, beliau sambut baik dan berharap bisa ketemu lagi, lalu beliau memanggil salah seorang penumpang yang masih muda, kelihatan agak tergesa-gesa dan berbisik-bisik, “Mat… sampaikan ke calonmu kalau Ngasih Rp 3 jt an, ya…Saya Dukung jadi Bupati…., satu putaran lagi……!”.

Tags: , , , , ,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar