Selasa, 06 Oktober 2009

Beberapa Pemikiran Politik

SBY dan Perppu Kebablasan, Mohon Solusi Kompasianer!
Oleh arifandigadjong - 25 September 2009 - Dibaca 643 Kali -

Terus terang tulisan ini, diilhami blog Prayitno Ramelan-pak Pray, 23 September 2009, Kontroversi Perppu Plt KPK, Wajar Saja Sih. Saya ingin mengapresiasi kembali biar lebih spesifik, termasuk ragam tanggapan dalam tulisan saya kemarin, SBY Terjepit Diantara Dua Tanduk, khususnya tanggapan Suropati yang mengatakan KPK sudah tidak independen lagi dengan perppu tersebut, karena ketiga Plt KPK sudah tangan panjang SBY . Saya katakan perppu kebablasan, karena ada tiga asumsi yang mendasari: pertama, KPK lahir karena UU, kemudian dianulir oleh perppu, bagaimana tinjauan hukumnya? Kedua, dengan perppu, berarti Plt KPK lahir karena penunjukan SBY. Bagaimana dengan independensinya, karena masalah korupsi ini bisa mengenai siapa saja, termasuk orang-orang partai back up SBY, bahkan orang yang ada di Istana Negara sekalipun, nah apakah akan tertutupi kalau ada temuan korupsi atau bagaimana? Ketiga, untuk uji perppu ini dengan political review oleh DPR, dimana tentunya akan sangat sulit terjadi bantahan terhadap perppu ini secara obyektif, karena hampir bertepatan dengan waktu penyusunan KIB kedua, di mana masing-masing partai punya kepentingan besar terhadap SBY.

Secara sederhana untuk pemberantasan korupsi di Indonesia, memang sangat wajar kita berharap banyak kepada KPK, karena Lembaga Tinggi Negara inilah satu-satunya yang independen dan tidak berada di bawah pengaruh pemerintah. Selama ini kita selalu trauma dengan berbagai kejadian, di mana kepentingan politik cenderung lebih tinggi dengan kepastian hukum, sebagai salah satu contoh lihat keluhan Marissa Haque atas kasus korupsi di Pandeglang.

Pro kontra atas perppu ini, sudah digambarkan pak Pray, yaitu yang kontra mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, di mana beliau berharap masalah penetapan anggota KPK baru tetap mengikuti prosedur. Sementara yang pro, adalah Mensesneg Hatta Rajasa, menyatakan perppu diterbitkan untuk menambah dua pasal dalam Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kedua pasal yang ditambahkan adalah Pasal 33A dan 33B,mengenai pengangkatan pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK, apabila pimpinan KPK kurang dari tiga orang. Termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, menerangkan perppu ini merupakan antisipasi jika polisi terus menerus memaksa mempersangkakan pimpinan KPK. Hal ini bisa memakan waktu yang lama. “Lalu tak ada Perpu Plt, bisa-bisa KPK-nya mati.” Pengeluaran perppu penunjukan plt pimpinan KPK dianggapnya konstitusional. Ia menjelaskan, dalam UUD 1945, terdapat dua alasan penerbitan UU Darurat, pertama dalam pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan munculnya UU Darurat karena keadaan bahaya. Kedua, diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan karena keadaan darurat sipil. “Jadi perppu tentang plt KPK itu sah,” ungkapnya, Selasa (22/9). Mahfud menilai penerbitan perppu penunjukan pelaksana tugas (Plt) KPK akan menyelamatkan KPK. Karena tanpa Plt, KPK akan mengalami kelumpuhan. Ia menyatakan kelumpuhan KPK akan menimbulkan persoalan terhadap keabsahan kuorum dalam pengambilan keputusan di antara pimpinan KPK. Sehingga keabsahan kuorum kolegialitasnya akan dipertanyakan. “Empat saja ada yang mempersoalkan, apalagi dua orang,” ungkapnya. Ia khawatir tersisanya dua dari lima pimpinan KPK akan menimbulkan masalah hukum.

Bisa-bisa nanti di praperadilankan,. … Perppu itu hanya bisa diuji oleh DPR dengan political review”.

Seperti saya katakan di awal tulisan, bahwa perppu ini kebablasan dengan berbagai pertimbangan, di mana saya berharap ada masukan dari kompasianer. UU Pengangkatan anggota KPK telah dianulir dengan perppu oleh Presiden, setidaknya karena dasarnya negara dalam keadaan genting, di mana hal ini cukup dengan pandangan subyektif presiden. Pertanyaannya, adalah apa yang terjadi di negeri ini, sehingga masuk kategori keadaan genting? Apakah karena desakan dari pihak Kapolri untuk memeriksa dua anggota KPK yang telah jadi tersangka? Ataukah karena anggota KPK tinggal dua orang? Saya bukan orang dengan basic hukum, tapi saya melihatnya dua masalah di atas bukan dasar yang kuat untuk menjadi justifikasi negara dalam keadaan genting. Sewaktu Antasari sudah non aktif, sebenarnya KPK sudah sangat sulit ambil putusan, coba saja bayangkan kalau keputusan KPK mengharuskan terjadinya vooting, dua lawan dua hasilnya pasti sama, kemudian keputusannya akhirnya, harus lewat siapa? Maksud saya, kenapa bukan dari dulu-misalnya sebelum pilpres, opsi penambahan anggota KPK dilakukan, tentunya ada waktu untuk sesuai dengan prosedur.

Perppu ini melahirkan Plt KPK, di mana orang-orangnya ditentukan juga oleh pandangan subyektif Presiden? Karena itu santer dibicarakan independensinya. Independensi KPK adalah taringnya selama ini, karena bebas untuk mengobok-obok siapa saja yang melakukan tindakan korupsi. Jadi, di sini seperti kata Mahfud MD, perppu dibuat supaya KPK tidak lumpuh, sementara pada sisi lain, KPK sudah tidak lumpuh tapi tidak punya taring lagi. Ibarat sebuah arena balapan mobil, ketika saya tidak punya lawan untuk adu kecepatan, maka Anda saya berikan mobil untuk jadi peserta balapan juga (karena saya tahu Anda jago balap, tapi nggak sanggup beli mobil), di mana tentunya berbagai syarat saya harus Anda sepakati dulu. Selanjutnya, karena berada di arena yang sama, tentunya Anda tidak berani atau tidak tega mengungguli saya, bahkan seandainya ada lawan ketiga Anda mungkin akan menghalangi orang itu untuk menyalip saya, supaya saya bisa juara. Itulah cara Anda berterima kasih kepada saya. Nah, untuk apa ada perppu?

Untuk menguji kelayakan perppu ini, yaitu dengan political review DPR. Sejujurnya, saya mengakui kemampuan SBY bermain pada timing politik, pas banget. Penentuan bahwa apakah pandangan subyektif presiden tentang keadaan genting, bisa diterima atau tidak oleh DPR melalui political review, tentunya akan dilaksanakan secepatnya. Di mana hal ini bisa saja bertepatan dengan saat-saat partai yang ingin masuk dalam kekuasaan melakukan negosiasi final, tentunya berharap banyak dari perhatian presiden terpilih. Dalam pandangan politik, saya bisa simpulkan sementara, bahwa political review ini, akan berjalan tanpa sandungan yang berarti dari parlemen, karena posisi tawar presiden berada dalam porsi yang sangat besar, yaitu kursi kabinet KIB Kedua. Jadi, saya pesimis dengan hasil political review ini.

Berbagai asumsi saya inilah, diharapkan para Kompasianer bisa memberikan solusi tentang layak tidaknya perppu Plt KPK dikeluarkan, khususnya asumsi kondisi negara dalam keadaan genting seperti apa seharusnya. Saya tetap berharap semoga kepastian hukum di negeri ini tetap ada, supaya keadilan tetap jadi payung kehidupan bagi bangsa Indonesia.

Salam Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar