Selasa, 06 Oktober 2009

Perspektif Agama

Bisakah Saya Lupa Ya Allah…?
Oleh arifandigadjong - 3 September 2009 - Dibaca 568 Kali -

Tak terasa, sekarang ini kedatanganku ke Kota Tarakan-Kalimantan Timur sudah memasuki hari ke 54. Jadi, sudah hampir dua bulan, saya meninggalkan istri dan dua anak yang masih belia, berumur lima dan enam tahun. Masih sangat jelas diingatanku, senin, tanggal 12/7/2009, sekitar pukul 13.00 wita dengan ditemani istri dan anak-anak, saya menuju ke salah satu kantor Tour/Travel di jalan Bawakaraeng, Makassar. Pesawat udara yang punya rute ke Kota Tarakan, dari Makassar, ternyata hanya Sriwijaya Air, itu pun harus transit Palu dan Balikpapan. Sebenarnya dengan alasan cuaca sangat panas, saya berniat pergi beli ticket sendiri, tetapi sewaktu pamit berangkat, anak-anakku-khususnya yang bungsu, memelas untuk ikut bahkan sampai tangisnya meledak. Waktu itu, bathinku mengguman “apakah ini naluri seorang anak, bahwa ayahnya akan pergi jauh, untuk jangka waktu relative lama, sehingga ini kesempatan untuk bersama”. Sehingga,setelah diskusi singkat dengan istri, diputuskan beli ticket sama-sama. Saya bisa melihat mimik muka anak-anakku begitu gembira mendengar keputusan itu, bahkan si sulung sampai lompat merengkuh pundakku, mencium pipihku. Malam hari, setelah segala kebutuhan dianggap cukup, istri member saran, supaya saya tunaikan shalat Hajjat malam ini, semoga Allah merahmati perjalananku mencari rejeki buat keluarga.

Minggu pertama di Kota Tarakan, kerjaku hanya mendatangi semua kolega untuk membicarakan lebih lanjut, peluang-peluang bisnis yang selama ini selalu dibicarakan cuma hanya via telepon waktu saya masih di Makassar. Kolega-kolega saya ini, lebih banyak memang bisa dikatakan asli Orang Tarakan, cuma dulu waktu masuk Perguruan Tinggi, mereka lebih memilih kuliah di Makassar, selebihnya adalah teman-teman sewaktu masih aktivis mahasiswa dan sekarang ini sudah punya peran tertentu dipemerintahan. Berkat bantuan para kolega ini, beberapa peluang bisnis menarik untuk dikelola, walaupun hampir semua peluang itu tidak ada yang bisa menghasilkan uang yang cepat. Saya pikir, tidak apa-apa, toh keberhasilan memang susah untuk instan, apalagi dengan modal pas-pasan seperti saya. Bermodal semangat bahagiakan keluarga, mulailah saya merintis beberapa peluang, di mana dalam kalkulasi saya relative punya prospek menjanjikan. Dari Kolega juga, saya mendapatkan berbagai info penting tentang Kota Tarakan, baik menyangkut aktivitas keseharian penduduknya yang lebih banyak hidup di dunia Jasa dan pertanian, khususnya usaha Tambak udang dan bandeng, perkembangan pembangunan kota, issu politik lokal, kepentingan Kota Tarakan dalam pembentukan Kalimantan Utara, sampai pada predikat Kota Tarakan sebagai terbesar kedua tingkat inflasi di Indonesia.

Selama di Kota Tarakan, hampir setiap hari saya baca Radar Tarakan-koran lokal dan Tribun Kaltim. Kolega juga sarankan, kalau mau internet murah, lebih baik ke Plaza Tarakan, karena ada Hot-Spot gratis di café, modalnya hanya pesan minuman dan bawa Laptop. Mungkin karena kolega-kolega saya masih ingat, saya orangnya paling tidak bisa ketinggalan informasi. Saya sering bercanda dengan mereka, bahwa enakan di café kita “ngopi” sambil menunggu buka puasa. Dari koran dan internet inilah, saya bisa tetap mencermati perkembangan lokal Tarakan-Makassar, regional Kaltim dengan semangat Gubernur Awang Farouk bangun Freeway senilai 4,3 trilyun, keluhan masyarakat Tarakan terhadap listrik yang dikelola swasta dengan pasokan Kwh tidak mencukupi sehingga sering padam, sampai pada issu nasional yang lebih banyak tentang kemarahan bangsa ini terhadap Malaysia, kabinet pak Beye yang bagusnya dari kalangan professional, termasuk dikte partai pendukung ke pak Beye supaya kadernya masuk Kabinet, sampai pada berita terorisme dengan semangat Polri memburu Noordin M. Top dan situs arrahmah.com. Cakupan isu ini, terus terang membuat saya pusing, sekaligus menyejukkan karena bisa berpikir solusi untuk bangsa ini dan terutama juga ada pengalihan pikiran yang sering sumpek karena masalah yang muncul dalam merintis usaha.

Memasuki bulan puasa, saya sedikit gamang, karena memang ada kebiasaan keluarga untuk sahur bersama di hari pertama dan mungkin budaya ini juga dipelihara oleh mayoritas keluarga lain. Saya masih ingat, malam sebelum pergi tarwih pertama, di hp saya masuk sms, ternyata dari istri “Ayah…selamat puasa ya, sebentar sahur di mana? Arya n Aby juga minta puasa, tapi katanya tetap minum susu. Makan nasi aja gak mau karenakatanya puasa. Sayang Ayah”. Sejujurnya, air mataku hampir tumpah, karena rindu sama keluarga, tapi saya lalu sadar, bahwa diperantauan nggak boleh cengeng. Langkah berat saya pun menuju Mushollah dekat rumah sewa. Lima hari puasa, sms dari istri masuk lagi, “Ass…Ayah, sandal Aby putus. Arya minta sajadah kecil, karena teman2nya juga punya. Saya belikan ya? Sayang Ayah”. Saya jawab, “belikan aja Bu, kasian ana2. Persediaan masih cukup kan? sayang Ibu. Wassalam”

Tanggal 2/09/09, sekitar jam 17.20 wita, sepulang dari Plaza Tarakan buka Internet dan serius baca blog kompasiana, berbagai masalah bangsa yang dimunculkan oleh blogger saya unduh masuk laptop. Ragam tulisan dari blogger kompasiana tetap mengelayut dipikiranku selama di angkot menuju rumah sewa. Tanpa sadar, bathinku mengguman “Ya ALLAH, dengan berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini, termasuk masalah yang muncul dalam perintisan usahaku, bisakah saya lupa Ya ALLAH…bahwa Anak dan Istriku belum beli baju lebaran….?

Tags: , , ,

Share on Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar