- Ya Allah, Saya Menemukan-Mu di Mall
- Oleh arifandigadjong - 16 September 2009 - Dibaca 765 Kali -
-
Seperti biasa, setelah lelah berkeliling mengurusi usaha, saya singgah di Plaza Tarakan, khususnya karena di Lantai tiga, ada café yang menyuguhkan HotSpot gratis. Pelayan di café itu, mungkin karena hampir saban hari, mereka tidak datang lagi tawarkan menu ke saya, tetapi nanti menjelang waktu buka puasa.
Berbagai informasi telah saya dapat dari hasil download internet, termasuk membuka beberapa tulisan blogger kompasiana dan beri komentar secukupnya. Tetapi, entah mengapa perasaan nggak betah menghinggapi saya, padahal waktu baru pukul 16.30 sore. Ya dengan helaan napas panjang, saya kemas laptop untuk bersiap tinggalkan café. Saya juga baru sadar, kalau ternyata belum shalat Ashar, bergegaslah saya menuju mushallah di lantai dasar mall. “buru-buru nih Pak?”, sapa pelayan café ke saya. “Ntar habis magrib, datang lagi”, jawabku singkat.
Selesai tunaikan shalat Ashar, saya kembali berpikir, pulang ke rumah atau tunggu buka puasa saja di mall. Saya kembali teringat janji dengan pelayan tadi, hingga kuputuskan untuk tunggu saja waktu buka puasa di mall, sambil jalan-jalan tentunya. Kurang lebih 30 menit kelilingi lantai satu mall, dari satu toko ke toko lainnya, saya jadi lelah juga, lalu berpikir cari tempat duduk sebentar. Kebetulan saya berdiri tidak jauh pintu dua mall, kulihat di dekat meja pos satpam, ada kursi kosong, karena yang bertugas dua orang, sedangkan kursi ada tiga.
“Permisi pak, numpang duduk…?” pintaku pada satpam itu.
“Silahkan pak, silahkan…!” jawab satpam yang berbadan tinggi besar, kulitnya hitam tapi relative bersih.
Sebenarnya tadi saya agak canggung juga, apalagi dengan melihat perawakan satpam yang tinggi besar itu, tetapi dari jawaban santun itu, bahkan dengan membuka dua tangannya waktu persilahkan duduk, rasa canggung itu berangsung-angsur hilang.
Entah mengapa dalam hitungan beberapa menit saja, antara saya dengan bapak satpam itu langsung akrab, khususnya terhadap satpam yang berbadan tinggi besar dan berkulit hitam itu, dia perkenalkan dirinya, sebut saja “Baharuddin”. Temannya bilang “Bahar Hening”, maksudnya si Bahar yang Hitam tapi Bening. Setelah saling memperkenalkan diri, mulailah pak Bahar bercerita tentang dirinya.
Dari penuturannya, ternyata baru empat tahun terakhir ini dia merasa sebagai manusia sekaligus ayah dari anak-anaknya. Mulai umur 17 an dia sudah berkelana dari satu kota ke kota lainnya di Indonesia ini, bahkan sampai di negara tetangga, Malaysia. Anehnya bahwa semua kota yang didatangi, pasti kerja yang bersifat maksiat, haram dalam pandangan agama. Wujud prihatin dari orang tuanya, maka dia dikawinkan pada umur 25 tahun, dengan harapan perilakunya bisa berubah. Tetapi, nyatanya tidak, dia tetap saja berkelana dengan kerja maksiat itu. Dia hanya pulang lihat istrinya kadang dua tahun sekali, itu pun tidak bawa apa-apa. “namanya saja uang panas Pak, menguapnya juga cepat”, menurutnya. Jadi dalam kelana pak Bahar, istrinyalah yang menghidupi anaknya yang sudah tiga orang, dengan kerja serabutan. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, pak Bahar melanjutkan ceritanya, bahwa bahkan sampai tiga anaknya lahir dia tidak pernah lihat, apalagi memberi nama buat anaknya. Semuanya diurus sendiri sama istrinya dengan bantuan tetangga.
“Saya seperti Muallaf saja, Pak.” Sergah pak Bahar menatapku.
“lho, memangnya pak Bahar, dulu bukan muslim…?
“KTP sih iya, tapi bagaimana saya bisa dikatakan muslim, mengaji tidak, puasa tidak, sama sekali tidak mengenal perintah agama, boro boro kenal tuhan, apakah itu yang dikatakan muslim…? Allah itu butuh pengakuan kita sebagai hamba, iya kan?”
“Trus, kapan mulai merasa muslim…?”
Pertanyaanku itu, membuat pak Bahar melanjutkan ceritanya, bahwa terakhir dia berkelana di Ambon. Secara tidak sengaja, dia bertemu tetangganya dari di kampung dan masih jelas diingat pesan tetangganya tersebut, “Bahar, kau pulanglah…! Anakmu hampir empat sekarang, istrimu tinggal menjual diri yang tidak dilakukannya untuk menghidupi anakmu. Kalau kau merasa laki-laki, pulanglah…!”. Entah mengapa pak Bahar tidak marah mendengar kata-kata itu, bahkan kata-kata itu menghantuinya selama dua bulan, akhirnya diputuskanlah untuk pulang kampung.
Dalam perjalanan pulang kampung, pak Bahar masih dihantui oleh pesan tetangganya dan dihinggapi rasa takut dan malu, baik terhadap istri, anak-anaknya, orang tua dan tetangga di kampung. Pertarungan bathinnya hampir saja membatalkan niatnya untuk pulang, tapi hatinya tetap berkeras untuk melihat anak dan istrinya, apalagi sekarang lagi hamil besar.
Sampai di rumah, hanya ada anak-anaknya dan dari yang sulung dia dapat info bahwa istrinya lagi dibawa oleh tetangga ke rumah sakit, orang tuanya tidak bisa hadir karena juga sedang sakit. Tetangga persis sebelah rumahnya beri kabar, bahwa istrinya mau melahirkan dan entah kenapa juga baru sekarang proses melahirkannya agak susah. Bagai disambar halilintar, pak Bahar segera menghambur ke rumah sakit. Di rumah sakit itu, di dapatnya para tetangga berkerumun, barulah pak Bahar dapat kejelasan, bahwa istrinya sudah sekitar empat jam di kamar bersalin dan belum melahirkan juga. Salah seorang tetangga, terbilang sudah berumur, membisik ke pak Bahar untuk tunaikan shalat sunat, minta kemudahan pada Allah untuk istrinya. Dapat bisikan itu, pak Bahar jadi bingung untuk shalat, ambil air wudhu saja tidak tahu. Dengan jujur kemudian pak Bahar minta dituntun ala kadarnya sama tetangga tersebut. Selesai sholat, pak Bahar minta ampun sama Allah dan berjanji akan berubah. Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengarlah tangisan bayi, dan tak lama kemudian dokter mengabari bahwa anak dan istrinya selamat. Pak Bahar tak menyadari air matanya berlinang, disertai isakan yang tidak tertahankan. Pengalaman spiritual itulah yang mengantar pak Bahar bisa menjadi muslim seperti sekarang ini.
Bersama pak satpam ini, tak terasa waktu buka puasa tinggal lima menit lagi, pak Bahar kemudian pamit untuk keluar dari mall sebentar, tak lama datang lagi dengan membawa kantong plastik warna hitam, ternyata pak Bahar dari beli pisang molen, jumlahnya delapan biji. Dua menit sebelum buka, satpam lainnya empat orang datang berkumpul, jadi dengan saya ada tujuh orang. Pak Bahar kemudian keluarkan gelas dari laci meja, saya pun keluarkan air mineral dari tas yang memang jarang ketinggalan. Masing-masing gelas diisi air mineral dan di atasnya di kasih satu biji pisang molen. Doa buka puasa disepakati di baca pak Bahar, Allohuma laka sumtu…. Acara buka puasa bersama ini berlangsung cukup singkat dan dilanjutkan shalat berjamaah di mushallah mall. Selesai shalat, saya pun pamit mau kembali ke café, disertai ucapan terima kasih atas buka bersamanya.
Di atas escalator menuju lantai tiga mall, saya tidak berhenti berpikir, kenapa buka puasa bersama tadi dengan pak satpam, terasa sangat nikmat dan sangat melegakan, padahal cuma segelas air mineral dan sebiji pisang molen, dibandingkan di café atau warung makan dekat mall, orang bisa pesan makanan enak apa saja. Entah…buka puasa kali ini terasa lain. Cerita pak Bahar tentang dirinya juga menggelayut di pikiranku. Allah memang selalu membuka pintu taubat bagi hambaNya, Maha Pengasih dan Penyayang. Allah memang memberi Rahmat bagi siapa saja yang dikehendakiNya. Hatiku berbisik, “Ya Allah, saya MenemukanMu di Mall….”
Selasa, 06 Oktober 2009
Perspektif Agama
Label:
Agama itu Indah,
Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar